SMANSA sekarang telah memiliki kantin sekolah modern. Namun, sebelum direnovasi, hanya ada dua tempat jajan yang menjadi pilihan siswa: cafetaria dan warung-warung sederhana di belakang sekolah.
Jika dianalogikan, cafetaria adalah pasar modern, sementara warung di belakang sekolah adalah pasar tradisional. Kedua tempat ini melengkapi kebutuhan jajanan warga sekolah dengan karakteristiknya masing-masing.
Cafetaria, yang dikelola oleh koperasi sekolah, adalah tempat jajanan modern di masa itu. Meskipun belum dilengkapi CCTV seperti saat ini, cafetaria sudah dianggap cukup "mewah."
Tempat ini kerap menjadi sasaran siswa nakal yang memanfaatkan keramaian pada jam istirahat untuk mencuri makanan. Penjaga cafetaria, dengan segala keterbatasan, sering kali kewalahan mengawasi siswa yang berdesak-desakan membeli jajanan.
Berbeda dengan cafetaria, tempat jajanan tradisional terletak di belakang sekolah, tepatnya di belakang ruang kelas 3.5 hingga 3.7. Nah, penyebutan belakang sekolah pun sebenarnya terlihat samar karena bangunan sekolah dirancang saling berhadapan, kecuali beberapa ruang kelas baru yang dibangun di dekat Lembah Putus Cinta.
Yang jelas, di sana, berdiri warung-warung kecil dari bilik bambu dan para pedagang kaki lima yang menyajikan berbagai makanan seperti bakso, batagor, kue ape, hingga gorengan.
Dari beberapa warung, salah satu yang paling legendaris adalah warung milik Ceu Emay. Nama Ceu Emay begitu melekat dalam ingatan siswa SMANSA era 90-an. Ejaan namanya—apakah “Emay” atau “May”—tidak terlalu penting. Namun, bagi orang Sunda, nama “Emay” terasa lebih pas. Warungnya menjadi tempat favorit, bukan karena makanannya, juga karena keberadaan Ceu Emay sendiri yang ramah dan penuh pengertian.
Memori kolektif tentang Ceu Emay dan warungnya masih terjaga hingga kini. Saat reuni SMANSA digelar, nama Ceu Emay kerap disebut. Bahkan, pernah ada alumni yang mencetak foto dirinya di sebuah baliho reuni. Ceu Emay telah menjadi simbol kenangan bagi siswa-siswa SMANSA, terutama mereka yang memiliki kenangan spesial dengan warungnya.
Uniknya, ingatan ini sering kali dirangkai oleh para alumni yang dulu dikenal "nakal." Bagi mereka, warung Ceu Emay adalah tempat berlindung sekaligus penyelamat. Saya sendiri memiliki pengalaman serupa.
Suatu hari, saya terlambat datang ke sekolah. Bersama beberapa siswa lain, saya terpaksa memanjat pagar tembok belakang sekolah untuk masuk ke area sekolah. Setelah berhasil masuk, saya tidak langsung ke kelas, melainkan mampir dulu ke warung Ceu Emay. Sialnya, Bu Entin, kepala sekolah yang terkenal tegas, sedang melakukan inspeksi mendadak.
Bu Entin langsung menghampiri saya dan bertanya, “Kenapa kamu masih di sini saat jam pelajaran?” Dengan spontan, saya menjawab, “Saya kebagian sesi dua ulangan, Bu.” Beruntung, alasan itu diterima, dan beliau segera pergi. Pengalaman itu membuat saya menyadari betapa kedisiplinan dan ketegasan Bu Entin sangat membentuk karakter SMANSA.
Bagi saya, warung Ceu Emay adalah tempat yang menyelamatkan. Tidak heran jika sosoknya begitu diingat dan dikenang oleh para alumni. Dalam memori kolektif kami, Ceu Emay bukan hanya penjual makanan, tetapi juga bagian dari cerita hidup yang membentuk masa-masa SMA kami.
Pada Mei hingga Agustus 2023, menjelang Reuni Perak SMANSA angkatan 1998, saya dan teman-teman sering mengunjungi sekolah untuk mempersiapkan acara. Saat itu, Ceu Emay masih berjualan di kantin sekolah.
Sosoknya tetap seperti dulu, sederhana dan penuh perhatian. Ketika Ceu Emay hendak pulang dan melewati masjid Ar-Rahmah yang sedang direnovasi, Ceu Emay memberikan tiga bungkus nasi timbel lengkap dengan gorengannya kepada kami.
Kebaikan yang sederhana itu mengingatkan saya bahwa Ceu Emay bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga simbol kebaikan yang menghubungkan masa-masa SMA kami dengan hari ini.
Kang Warsa
Jika dianalogikan, cafetaria adalah pasar modern, sementara warung di belakang sekolah adalah pasar tradisional. Kedua tempat ini melengkapi kebutuhan jajanan warga sekolah dengan karakteristiknya masing-masing.
Cafetaria, yang dikelola oleh koperasi sekolah, adalah tempat jajanan modern di masa itu. Meskipun belum dilengkapi CCTV seperti saat ini, cafetaria sudah dianggap cukup "mewah."
Tempat ini kerap menjadi sasaran siswa nakal yang memanfaatkan keramaian pada jam istirahat untuk mencuri makanan. Penjaga cafetaria, dengan segala keterbatasan, sering kali kewalahan mengawasi siswa yang berdesak-desakan membeli jajanan.
Berbeda dengan cafetaria, tempat jajanan tradisional terletak di belakang sekolah, tepatnya di belakang ruang kelas 3.5 hingga 3.7. Nah, penyebutan belakang sekolah pun sebenarnya terlihat samar karena bangunan sekolah dirancang saling berhadapan, kecuali beberapa ruang kelas baru yang dibangun di dekat Lembah Putus Cinta.
Yang jelas, di sana, berdiri warung-warung kecil dari bilik bambu dan para pedagang kaki lima yang menyajikan berbagai makanan seperti bakso, batagor, kue ape, hingga gorengan.
Dari beberapa warung, salah satu yang paling legendaris adalah warung milik Ceu Emay. Nama Ceu Emay begitu melekat dalam ingatan siswa SMANSA era 90-an. Ejaan namanya—apakah “Emay” atau “May”—tidak terlalu penting. Namun, bagi orang Sunda, nama “Emay” terasa lebih pas. Warungnya menjadi tempat favorit, bukan karena makanannya, juga karena keberadaan Ceu Emay sendiri yang ramah dan penuh pengertian.
Memori kolektif tentang Ceu Emay dan warungnya masih terjaga hingga kini. Saat reuni SMANSA digelar, nama Ceu Emay kerap disebut. Bahkan, pernah ada alumni yang mencetak foto dirinya di sebuah baliho reuni. Ceu Emay telah menjadi simbol kenangan bagi siswa-siswa SMANSA, terutama mereka yang memiliki kenangan spesial dengan warungnya.
Uniknya, ingatan ini sering kali dirangkai oleh para alumni yang dulu dikenal "nakal." Bagi mereka, warung Ceu Emay adalah tempat berlindung sekaligus penyelamat. Saya sendiri memiliki pengalaman serupa.
Suatu hari, saya terlambat datang ke sekolah. Bersama beberapa siswa lain, saya terpaksa memanjat pagar tembok belakang sekolah untuk masuk ke area sekolah. Setelah berhasil masuk, saya tidak langsung ke kelas, melainkan mampir dulu ke warung Ceu Emay. Sialnya, Bu Entin, kepala sekolah yang terkenal tegas, sedang melakukan inspeksi mendadak.
Bu Entin langsung menghampiri saya dan bertanya, “Kenapa kamu masih di sini saat jam pelajaran?” Dengan spontan, saya menjawab, “Saya kebagian sesi dua ulangan, Bu.” Beruntung, alasan itu diterima, dan beliau segera pergi. Pengalaman itu membuat saya menyadari betapa kedisiplinan dan ketegasan Bu Entin sangat membentuk karakter SMANSA.
Bagi saya, warung Ceu Emay adalah tempat yang menyelamatkan. Tidak heran jika sosoknya begitu diingat dan dikenang oleh para alumni. Dalam memori kolektif kami, Ceu Emay bukan hanya penjual makanan, tetapi juga bagian dari cerita hidup yang membentuk masa-masa SMA kami.
Pada Mei hingga Agustus 2023, menjelang Reuni Perak SMANSA angkatan 1998, saya dan teman-teman sering mengunjungi sekolah untuk mempersiapkan acara. Saat itu, Ceu Emay masih berjualan di kantin sekolah.
Sosoknya tetap seperti dulu, sederhana dan penuh perhatian. Ketika Ceu Emay hendak pulang dan melewati masjid Ar-Rahmah yang sedang direnovasi, Ceu Emay memberikan tiga bungkus nasi timbel lengkap dengan gorengannya kepada kami.
Kebaikan yang sederhana itu mengingatkan saya bahwa Ceu Emay bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga simbol kebaikan yang menghubungkan masa-masa SMA kami dengan hari ini.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Catatan #11: Ceu Emay"