Ada satu prinsip yang selalu saya pegang teguh. Dalam drama kehidupan, ketika saya harus memerankan tokoh nakal, saya selalu berusaha memastikan bahwa hal yang benar tetaplah benar. Jika belum mampu menjadi manusia yang benar secara sempurna, setidaknya jangan menjadi manusia yang sepenuhnya durjana.Percayalah, bahaya terbesar sering kali justru datang dari kehendak bebas kita sendiri.
Di belakang sekolah, ada sebuah tempat yang ditumbuhi semak perdu. Di bibirnya, pohon-pohon besar berdiri tegak, menciptakan suasana rimbun dan sedikit angker. Tempat itu diberi nama “Lembah Putus Cinta.”
Penamaan ini—seingat saya—diberikan oleh siswa SMANSA angkatan 95-99. Nama tersebut terinspirasi dari sebuah lembah dalam film Return of the Condor Heroes, serial kungfu yang sedang digandrungi masyarakat lewat tayangan televisi swasta.
Entahlah, apakah sebelum tahun 90-an, lembah itu sudah punya nama, tetapi yang jelas, nama ini kemudian melekat dan jadi bagian dari sejarah kecil di SMANSA.
Nama tempat sering membawa dampak psikologis bagi penghuninya. Lembah Putus Cinta, misalnya, menjadi lokasi yang diyakini cocok untuk mereka yang ingin memutus hubungan cinta secara baik-baik.
Namun, di sisi lain, muncul mitos bahwa pasangan yang sedang menjalin kasih sayang tidak boleh mendekati lembah itu, atau hubungan mereka akan kandas. Akibatnya, tempat ini jarang dijamah oleh siswa, bahkan seiring waktu berkembang menjadi “hutan sekolah.”
Tahun 1996, saya pernah berdiri mematung di bibir lembah, memandangi tempat ini dengan rasa penasaran. “Kenapa tempat ini jarang jadi lokasi persembunyian saat siswa malas ikut upacara bendera atau enggan belajar?” pikir saya.
Faktanya, siswa SMANSA lebih sering bersembunyi di kelas sambil pura-pura sakit, kabur ke warung di pinggir jalan, atau bahkan berlindung di masjid.
Namun, seangker apa pun sebuah tempat, selalu ada dua jenis siswa yang tidak peduli: si jomblo dan si nakal. Beberapa menit setelah saya berdiri di sana, dari balik semak-semak muncul beberapa teman sambil terkekeh.
Salah satu dari mereka berkata, “Kalau kamu mau merokok, itu ada di bawah.” Dan kalian boleh menebak: apakah saya termasuk siswa jomblo atau nakal? Yang jelas, tawaran itu tidak saya sia-siakan.
Saya turun ke lembah dan menemukan sebuah gubuk kecil beratap daun pisang. Tanpa pikir panjang, saya mengambil sebatang rokok, menyalakannya, lalu mengembuskan asap perlahan-lahan.
Saat itu, imajinasi saya melayang ke petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, dua bocah gemblung yang merokok di pinggir danau. Lalu, saya merasa seperti salah satu karakter dalam Return of the Condor Heroes, bocah tua nakal bernama Ciu Pek Tong.
Ada teman sekelas yang tidak merokok pernah bertanya, “Apa sih enaknya merokok, Sa?” Saya tidak merasa terganggu dengan pertanyaan seperti itu. Jawaban saya sederhana:
“Pergilah ke perpustakaan, pinjamlah buku Musashi. Bawa buku itu ke rumah, beli satu sampai tiga batang rokok, siapkan asbak, lalu membacalah sambil merokok. Di situ, kamu akan tahu nikmatnya.”
Saya juga pernah mengatakan kepadanya, “Kamu tahu tidak, kenapa saya merasa beruntung punya teman seperti kamu? Karena kamu membuat saya sadar akan banyak hal, termasuk bahaya merokok.” Tapi apakah saya berhenti merokok setelah itu? Tentu saja tidak. Justru setelah peristiwa di Lembah Putus Cinta, saya dan teman-teman semakin sering berkumpul di gubuk kecil itu.
Imaji angker tentang Lembah Putus Cinta tidak pernah mengurangi rasa nyaman kami. Seperti Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, kami merasa menjadi siswa petualang. Larangan mendekati lembah itu hanya menambah daya tarik bagi jiwa-jiwa muda yang gemar melawan aturan.
Di belakang sekolah, ada sebuah tempat yang ditumbuhi semak perdu. Di bibirnya, pohon-pohon besar berdiri tegak, menciptakan suasana rimbun dan sedikit angker. Tempat itu diberi nama “Lembah Putus Cinta.”
Penamaan ini—seingat saya—diberikan oleh siswa SMANSA angkatan 95-99. Nama tersebut terinspirasi dari sebuah lembah dalam film Return of the Condor Heroes, serial kungfu yang sedang digandrungi masyarakat lewat tayangan televisi swasta.
Entahlah, apakah sebelum tahun 90-an, lembah itu sudah punya nama, tetapi yang jelas, nama ini kemudian melekat dan jadi bagian dari sejarah kecil di SMANSA.
Nama tempat sering membawa dampak psikologis bagi penghuninya. Lembah Putus Cinta, misalnya, menjadi lokasi yang diyakini cocok untuk mereka yang ingin memutus hubungan cinta secara baik-baik.
Namun, di sisi lain, muncul mitos bahwa pasangan yang sedang menjalin kasih sayang tidak boleh mendekati lembah itu, atau hubungan mereka akan kandas. Akibatnya, tempat ini jarang dijamah oleh siswa, bahkan seiring waktu berkembang menjadi “hutan sekolah.”
Tahun 1996, saya pernah berdiri mematung di bibir lembah, memandangi tempat ini dengan rasa penasaran. “Kenapa tempat ini jarang jadi lokasi persembunyian saat siswa malas ikut upacara bendera atau enggan belajar?” pikir saya.
Faktanya, siswa SMANSA lebih sering bersembunyi di kelas sambil pura-pura sakit, kabur ke warung di pinggir jalan, atau bahkan berlindung di masjid.
Namun, seangker apa pun sebuah tempat, selalu ada dua jenis siswa yang tidak peduli: si jomblo dan si nakal. Beberapa menit setelah saya berdiri di sana, dari balik semak-semak muncul beberapa teman sambil terkekeh.
Salah satu dari mereka berkata, “Kalau kamu mau merokok, itu ada di bawah.” Dan kalian boleh menebak: apakah saya termasuk siswa jomblo atau nakal? Yang jelas, tawaran itu tidak saya sia-siakan.
Saya turun ke lembah dan menemukan sebuah gubuk kecil beratap daun pisang. Tanpa pikir panjang, saya mengambil sebatang rokok, menyalakannya, lalu mengembuskan asap perlahan-lahan.
Saat itu, imajinasi saya melayang ke petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, dua bocah gemblung yang merokok di pinggir danau. Lalu, saya merasa seperti salah satu karakter dalam Return of the Condor Heroes, bocah tua nakal bernama Ciu Pek Tong.
Ada teman sekelas yang tidak merokok pernah bertanya, “Apa sih enaknya merokok, Sa?” Saya tidak merasa terganggu dengan pertanyaan seperti itu. Jawaban saya sederhana:
“Pergilah ke perpustakaan, pinjamlah buku Musashi. Bawa buku itu ke rumah, beli satu sampai tiga batang rokok, siapkan asbak, lalu membacalah sambil merokok. Di situ, kamu akan tahu nikmatnya.”
Saya juga pernah mengatakan kepadanya, “Kamu tahu tidak, kenapa saya merasa beruntung punya teman seperti kamu? Karena kamu membuat saya sadar akan banyak hal, termasuk bahaya merokok.” Tapi apakah saya berhenti merokok setelah itu? Tentu saja tidak. Justru setelah peristiwa di Lembah Putus Cinta, saya dan teman-teman semakin sering berkumpul di gubuk kecil itu.
Imaji angker tentang Lembah Putus Cinta tidak pernah mengurangi rasa nyaman kami. Seperti Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, kami merasa menjadi siswa petualang. Larangan mendekati lembah itu hanya menambah daya tarik bagi jiwa-jiwa muda yang gemar melawan aturan.
Posting Komentar untuk "Catatan #9: Lembah Putus Cinta"